Makna Larangan Menikah dalam satu suku di MinangKabau
Dalam adat Minangkabau kenapa pernikahan sasuku dilarang, sedangkan dalam agama Islam tidak ? Apakah ini bertentangan dg agama kita? Pertanyaan ini sering sekali kita dengar.?
Mungkin diantara kita orang Minang, ini adalah pertanyaan biasa yg sudah tidak asing lagi kita dengar, namun saya yakin kebanyakan dari kita sampai saat ini belum mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut. Semua ini akibat dari kurangnya pencerahan yg diberikan oleh pemangku-pamangku adat kita kepada masyarakat tentang larangan pernikahan sasuku ini, sehingga muncullah opini-opini yg bisa menimbulkan kegaduhan-kegaduhan kecil ditengah-tengah masyarakat. Bahkan ada sebahagian dari masyarakat kita yg berani memvonis bahwa ketentuan larangan nikah sasuku itu salah dan tidak sesuai dgn syara'/syari'at Islam.
kesalahan dalam memaknai larangan melakukan nikah sasuku ini kebanyakan dari kita hanya melihat dari kulitnya saja, tanpa terlebih dahulu mencoba menggali isi sesungguhnya,sama halnya ketika melihat sistem matrilinial dan soal Harato Pusako.
Dalam hal ini kita juga tidak bisa begitu saja menyalahkan masyarakat kita yg memberi penilaian yg tidak baik terhadap adatnya sendiri, karena memang faktanya komunikasi antara pemangku adat dgn anak kamanakannya memang kurang ada informasi2 seperti ini.
Tentunya orang-orang yg terdahulu sudah sangat mempertimbangkan segala hal tentang ketentuan ini. Kalau kita melihat semboyan adat Minang yg mengatakan "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah" sudah pasti kita akan melihat adat juga dari sisi agama.
Kita juga harus melihat latar belakang Agama dan adat di Minang. Lebih kurang sebelum abad ke 3 M adat alam Minangkabau sudah tersusun dgn rapi,sedangkan agama Islam masuk ke Minangkabau lebih kurang pada abad ke 10 M. Berarti adat itu lebih tua daripada dimulainya penyebaran agama Islam di Minangkabau.
Larangan melakukan nikah sasuku dalam adat Minangkabau memang tidak diberlakukan dalam ajaran agama Islam. Bahkan agama Islam juga jelas-jelas mengatakan siapa-siapa saja yg tidak boleh dinikahi, diantaranya; saudara kandung, Ibu, Saudara perempuan dari ibu/bapak, dan saudara sapasusuan, mereka semua disebut keluarga.
Sebelum kita menyalahkan adat, kita juga harus memaknai maksud sasuku yg dikatakan oleh adat. Kita semua sudah pasti mengetahui, bahwa yg namanya sasuku sesungguhnya itu menurut adat adalah satu ranji, satu kaum dan satu keluarga,satu keturunan. Jadi makna larangan yg disebutkan dalam agama Islam itu juga sama dengan sasuku yg dimaksud oleh adat, yaitu Keluarga dekat. Adat dan syari'at Islam itu sama-sama melarang menikahi keluarga dekat.
Mari kita dudukkan dulu,
Apa yang dilarang oleh islam(syara'), dilarang oleh adat.
Apa yang diperintahkan islam, wajib dilaksanakan oleh adat.
Apa yang tidak dilarang islam atau tidak diperintahkan islam,atau yang tidak diatur oleh islam(Al'Qur'an) itulah adat.
Adat melarang pernikahan sesuku tapi tidak mengharamkan,agama tidak mewajibkan dan tidak pula melarang menikah satu suku,
andaipun ada yg melanggar itu bermacam2 sangsinya,sama seperti undang2 yg dibuat manusia,semua ada sangsinya,dan bisa diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat....
Urusan duniamu kamu lebih tahu (kata syara').oleh karna itu ada ABS-SBK, Adat itu budi pantas atau tidak pantasnya diatur dalam adat.
Sara' itu ahklak apa yang dicontohkan oleh rasul.
Tetapi dizaman sekarang sasuku itu sudah berubah menjadi masyarakat banyak, itu semua dikarenakan adanya kebiasaan masyarakat kita yg melakukan "mangaku induak" kepada suku tertentu. Akibatnya sekarang satu suku itu sudah tidak bisa disebut, satu ranji, satu kaum dan satu keluarga lagi.
Kalau kita menyalahkan adat hanya melihat pada saat kondisi sekarang, ini adalah kesimpulan yg tidak baik. Seharusnya kita juga melihat adat itu jauh kebelakang pada saat proses penyusunan adat alam minangkabau tersebut. Ketika penyusunan adat itu terjadi, yg namanya sesuku itu sudah jelas-jelas yg dimaksud itu adalah satu ranji, satu kaum dan satu keluarga, tetapi pada saat sekarang ini maksud sasuku itu memang sudah jauh berbeda, sekarang sasuku sudah tidak bisa lagi disebut satu ranji, satu kaum dan satu keluarga.
Jadi menurut saya, tidak ada yg salah pada larangan bagi yang melakukan nikah sasuku tersebut, baik itu menurut adat maupun menurut syari'at agama Islam, karena sama-sama melarang melakukan pernikahan satu suku (Keluarga). Cuma permasalahan ini harus jadi perhatian bagi pemangku-pemangku adat supaya ikut memikirkan sekaligus mencari solusi, agar maksud dari larangan melakukan nikah sasuku itu berada ditempatnya pada saat ini, supaya adat tersebut tetap kokoh seperti semula.
Dan itu sudah banyak disesuaikan dg keadaan,sekarang ini diperbolehkan nikah sasuku asal tidak sepayung,artinya sudah beda ranjinya.
Mari kita lihat manfaat dan mudaratnya larangan menikah sasuku. Semua orang Islam tahu bahwa agama Islam adalah agama rahmat bagi sekalian alam, sehingga seluruh muslim dianjurkan untuk menjalin silaturrahmi serta pandai-pandai mencari kawan. Leluhur Minangkabau dahulu pastinya juga sudah meraba hal ini, sehingga mereka membuat aturan larangan manikah sasuku,
karena menikah dengan kerabat satu suku hanya akan mempersempit pergaulan,menciptakan keturunan yg tdk berkualitas,kehilangan hak secara adat,membawa kerugian dalam materi,menjadikan salah satu suku #memonopoli kesukuan/sehingga tdk merata,dan salah satu bentuk fanatisme buta.
Saat pernikahan terjadi antara dua suku yang berbeda, maka tak diragukan lagi dua suku tersebut akan memiliki ikatan, dan pengembangan bagi agama Islam.
Lain cerita kalau menikah dengan yang lain agama. Ini baru kita gugat.
saya juga percaya bahwa secara biologis,semakin jauh hubungan darah antara suami dan istri, maka semakin berkualitas keturunan yang akan dianugerahkan. Umar bin Khatthab pun pernah berkata, "Kalian sudah mulai melemah. Nikahilah wanita-wanita asing (yang jauh kekerabatannya, agar didapatkan keturunan yang kuat)."
Tentang mudarat, tentu anda tahu bahwa pernikahan tak selalu berjalan mulus. Terkadang pernikahan berakhir di tengah jalan,cinta yang melandasi pernikahan dulu kini berubah menjadi kebencian.
Pasangan satu suku yang menikah, kemudian pernikahan tersebut berakhir kebencian dapat memberi dampak buruk pada eksistensi suku tempat keduanya bernaung. Perpecahan tak dapat dihindarkan.Perpecahan di dalam satu suku adalah sebuah aib besar, karena pasti akan susah untuk didamaikan.
Berbeda dengan pertengkaran suami-istri yang berbeda suku. Saat pertengkaran mencapai titik puncak, masing-masing pihak bisa mengirim utusan untuk melakukan perundingan. Kapan perlu, datuak dari masing-masing suku bisa turun tangan. Makanya tak heran jika menikah dengan pasangan berbeda suku lebih diutamakan.
Mari sama-sama kita ubah mindset, karena tak dapat dipungkiri, beberapa orang yang baru belajar Islam menggeneralisir seolah semua adat itu bertentangan dengan agama.
Dua abad lalu perpecahan antara kaum adat dan kaum agama pernah terjadi, namun dengan bijak perpecahan tersebut dapat terselesaikan. Apa penyelesaiannya? Itulah asas “Adaik basandi Syara', Syara' basandi Kitabullah, Adaik manurun, Syara' mandaki, Adaik nan kawi, Syara' nan lazim, Syara' mangato Adaik mamakai, Tuhan basifat Qadim, manusia basifat khilaf” yang dikenal dengan Sumpah Sati Bukik Marapalam tahun 1837.
Pahamilah Islam, dalami pula adat, maka anda akan temukan bahwa Tuanku Imam Bonjol serta pendahulu Minang lainnya adalah orang-orang cerdas yang dapat menegakkan Islam di Ranah Minang, menghapus segala bentuk maksiat dari adat, membalutnya dengan ajaran Islam.
Mari kita ulas satu persatu :
1.Mempersempit Pergaulan
Orang yang sesuku adalah orang-orang yang sedarah, mempunyai garis keturunan yang sama yang telah ditetapkan oleh para tokoh dan ulama Minangkabau yang terkenal dengan kejeniusannya. “Ibaraiknyo cando surang se mah Laki-laki nan ‘Iduik’ atau cando surang se mah padusi nan kambang”.
2.Menciptakan Keturunan yang Tidak Berkualitas
Ilmu kedokteran mengatakan keturunan yang berkualitas apabila si keturunan dihasilkan dari orang tua yang tidak mempunyai hubungan darah sama sekali. Adapun keturunan yang terlahir akibat hubungan darah yang sama akan mengalami kecacatan fisik dan keterbelakangan mental (akibat genetika).
3.Mengganggu Psikologis Anak
Psikologis anak akan terganggu akibat perlakuan rasis dan dikucilkan teman-teman
sebayanya bahkan orang sekampung. Hal ini mengingat tidak dianggapnya orang tua di dalam kaum kerabat dan masyarakat.
4.Kehilangan Hak Secara Adat
Pasangan yang menikah sesuku akan dikucilkan oleh sukunya, tidak dibenarkan duduk di dalam sukunya dan juga tidak diterima oleh suku-suku lain di wilayah atau luhak (daerah). Bahkan, bekas tempat duduk mereka akan dicuci oleh masyarakat, ini menggambarkan betapa buruknya mereka di mata masyarakat. Lelaki yang melakukan kesalahan hilang hak memegang jawatan ( menjunjung sako) yang terdapat dalam sistem Adat Perpatih. Sedangkan perempuan akan kehilangan hak atas segala harta pusaka suku. Pasangan terlibat “diperbilangkan” sebagai, Laksana buah beluluk, Tercampak ke laut tidak dimakan ikan, Tercampak ke darat tidak dimakan ayam.
5.Membawa Kerugian Materi
Sebagai Pelaku kesalahan adat, pernikahan sesuku perlu melakukan syarat-syarat yang ditetapkan dalam majelis yang diawasi oleh Datuk Lembaga (Ketua Suku) suku berkenaan menerimanya dan bergabung ke dalam ikatan keluarga dan suku. Adapun pasangan ini harus menyediakan 50 gantang beras dan mengadakan seekor kerbau atau lembu untuk majelis kenduri. Menjemput Ketua-Ketua Adat dengan penuh istiadat ke majelis kenduri. Mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada orang ramai, pelaku kesalahan adat meminta maaf kpd’ semua anggota suku yang hadir,
6.Membuat kesenjangan sistem monopoli secara kesukuan,karna dengan adanya kawin sesuku maka akan ada kesenjangan dalam kesukuan.
Sumber : Herlina Hasan Basri
kesalahan dalam memaknai larangan melakukan nikah sasuku ini kebanyakan dari kita hanya melihat dari kulitnya saja, tanpa terlebih dahulu mencoba menggali isi sesungguhnya,sama halnya ketika melihat sistem matrilinial dan soal Harato Pusako.
Dalam hal ini kita juga tidak bisa begitu saja menyalahkan masyarakat kita yg memberi penilaian yg tidak baik terhadap adatnya sendiri, karena memang faktanya komunikasi antara pemangku adat dgn anak kamanakannya memang kurang ada informasi2 seperti ini.
Tentunya orang-orang yg terdahulu sudah sangat mempertimbangkan segala hal tentang ketentuan ini. Kalau kita melihat semboyan adat Minang yg mengatakan "Adat Basandi Syara', Syara' Basandi Kitabullah" sudah pasti kita akan melihat adat juga dari sisi agama.
Kita juga harus melihat latar belakang Agama dan adat di Minang. Lebih kurang sebelum abad ke 3 M adat alam Minangkabau sudah tersusun dgn rapi,sedangkan agama Islam masuk ke Minangkabau lebih kurang pada abad ke 10 M. Berarti adat itu lebih tua daripada dimulainya penyebaran agama Islam di Minangkabau.
Larangan melakukan nikah sasuku dalam adat Minangkabau memang tidak diberlakukan dalam ajaran agama Islam. Bahkan agama Islam juga jelas-jelas mengatakan siapa-siapa saja yg tidak boleh dinikahi, diantaranya; saudara kandung, Ibu, Saudara perempuan dari ibu/bapak, dan saudara sapasusuan, mereka semua disebut keluarga.
Sebelum kita menyalahkan adat, kita juga harus memaknai maksud sasuku yg dikatakan oleh adat. Kita semua sudah pasti mengetahui, bahwa yg namanya sasuku sesungguhnya itu menurut adat adalah satu ranji, satu kaum dan satu keluarga,satu keturunan. Jadi makna larangan yg disebutkan dalam agama Islam itu juga sama dengan sasuku yg dimaksud oleh adat, yaitu Keluarga dekat. Adat dan syari'at Islam itu sama-sama melarang menikahi keluarga dekat.
Mari kita dudukkan dulu,
Apa yang dilarang oleh islam(syara'), dilarang oleh adat.
Apa yang diperintahkan islam, wajib dilaksanakan oleh adat.
Apa yang tidak dilarang islam atau tidak diperintahkan islam,atau yang tidak diatur oleh islam(Al'Qur'an) itulah adat.
Adat melarang pernikahan sesuku tapi tidak mengharamkan,agama tidak mewajibkan dan tidak pula melarang menikah satu suku,
andaipun ada yg melanggar itu bermacam2 sangsinya,sama seperti undang2 yg dibuat manusia,semua ada sangsinya,dan bisa diselesaikan dengan musyawarah dan mufakat....
Urusan duniamu kamu lebih tahu (kata syara').oleh karna itu ada ABS-SBK, Adat itu budi pantas atau tidak pantasnya diatur dalam adat.
Sara' itu ahklak apa yang dicontohkan oleh rasul.
Tetapi dizaman sekarang sasuku itu sudah berubah menjadi masyarakat banyak, itu semua dikarenakan adanya kebiasaan masyarakat kita yg melakukan "mangaku induak" kepada suku tertentu. Akibatnya sekarang satu suku itu sudah tidak bisa disebut, satu ranji, satu kaum dan satu keluarga lagi.
Kalau kita menyalahkan adat hanya melihat pada saat kondisi sekarang, ini adalah kesimpulan yg tidak baik. Seharusnya kita juga melihat adat itu jauh kebelakang pada saat proses penyusunan adat alam minangkabau tersebut. Ketika penyusunan adat itu terjadi, yg namanya sesuku itu sudah jelas-jelas yg dimaksud itu adalah satu ranji, satu kaum dan satu keluarga, tetapi pada saat sekarang ini maksud sasuku itu memang sudah jauh berbeda, sekarang sasuku sudah tidak bisa lagi disebut satu ranji, satu kaum dan satu keluarga.
Jadi menurut saya, tidak ada yg salah pada larangan bagi yang melakukan nikah sasuku tersebut, baik itu menurut adat maupun menurut syari'at agama Islam, karena sama-sama melarang melakukan pernikahan satu suku (Keluarga). Cuma permasalahan ini harus jadi perhatian bagi pemangku-pemangku adat supaya ikut memikirkan sekaligus mencari solusi, agar maksud dari larangan melakukan nikah sasuku itu berada ditempatnya pada saat ini, supaya adat tersebut tetap kokoh seperti semula.
Dan itu sudah banyak disesuaikan dg keadaan,sekarang ini diperbolehkan nikah sasuku asal tidak sepayung,artinya sudah beda ranjinya.
Mari kita lihat manfaat dan mudaratnya larangan menikah sasuku. Semua orang Islam tahu bahwa agama Islam adalah agama rahmat bagi sekalian alam, sehingga seluruh muslim dianjurkan untuk menjalin silaturrahmi serta pandai-pandai mencari kawan. Leluhur Minangkabau dahulu pastinya juga sudah meraba hal ini, sehingga mereka membuat aturan larangan manikah sasuku,
karena menikah dengan kerabat satu suku hanya akan mempersempit pergaulan,menciptakan keturunan yg tdk berkualitas,kehilangan hak secara adat,membawa kerugian dalam materi,menjadikan salah satu suku #memonopoli kesukuan/sehingga tdk merata,dan salah satu bentuk fanatisme buta.
Saat pernikahan terjadi antara dua suku yang berbeda, maka tak diragukan lagi dua suku tersebut akan memiliki ikatan, dan pengembangan bagi agama Islam.
Lain cerita kalau menikah dengan yang lain agama. Ini baru kita gugat.
saya juga percaya bahwa secara biologis,semakin jauh hubungan darah antara suami dan istri, maka semakin berkualitas keturunan yang akan dianugerahkan. Umar bin Khatthab pun pernah berkata, "Kalian sudah mulai melemah. Nikahilah wanita-wanita asing (yang jauh kekerabatannya, agar didapatkan keturunan yang kuat)."
Tentang mudarat, tentu anda tahu bahwa pernikahan tak selalu berjalan mulus. Terkadang pernikahan berakhir di tengah jalan,cinta yang melandasi pernikahan dulu kini berubah menjadi kebencian.
Pasangan satu suku yang menikah, kemudian pernikahan tersebut berakhir kebencian dapat memberi dampak buruk pada eksistensi suku tempat keduanya bernaung. Perpecahan tak dapat dihindarkan.Perpecahan di dalam satu suku adalah sebuah aib besar, karena pasti akan susah untuk didamaikan.
Berbeda dengan pertengkaran suami-istri yang berbeda suku. Saat pertengkaran mencapai titik puncak, masing-masing pihak bisa mengirim utusan untuk melakukan perundingan. Kapan perlu, datuak dari masing-masing suku bisa turun tangan. Makanya tak heran jika menikah dengan pasangan berbeda suku lebih diutamakan.
Mari sama-sama kita ubah mindset, karena tak dapat dipungkiri, beberapa orang yang baru belajar Islam menggeneralisir seolah semua adat itu bertentangan dengan agama.
Dua abad lalu perpecahan antara kaum adat dan kaum agama pernah terjadi, namun dengan bijak perpecahan tersebut dapat terselesaikan. Apa penyelesaiannya? Itulah asas “Adaik basandi Syara', Syara' basandi Kitabullah, Adaik manurun, Syara' mandaki, Adaik nan kawi, Syara' nan lazim, Syara' mangato Adaik mamakai, Tuhan basifat Qadim, manusia basifat khilaf” yang dikenal dengan Sumpah Sati Bukik Marapalam tahun 1837.
Pahamilah Islam, dalami pula adat, maka anda akan temukan bahwa Tuanku Imam Bonjol serta pendahulu Minang lainnya adalah orang-orang cerdas yang dapat menegakkan Islam di Ranah Minang, menghapus segala bentuk maksiat dari adat, membalutnya dengan ajaran Islam.
Mari kita ulas satu persatu :
1.Mempersempit Pergaulan
Orang yang sesuku adalah orang-orang yang sedarah, mempunyai garis keturunan yang sama yang telah ditetapkan oleh para tokoh dan ulama Minangkabau yang terkenal dengan kejeniusannya. “Ibaraiknyo cando surang se mah Laki-laki nan ‘Iduik’ atau cando surang se mah padusi nan kambang”.
2.Menciptakan Keturunan yang Tidak Berkualitas
Ilmu kedokteran mengatakan keturunan yang berkualitas apabila si keturunan dihasilkan dari orang tua yang tidak mempunyai hubungan darah sama sekali. Adapun keturunan yang terlahir akibat hubungan darah yang sama akan mengalami kecacatan fisik dan keterbelakangan mental (akibat genetika).
3.Mengganggu Psikologis Anak
Psikologis anak akan terganggu akibat perlakuan rasis dan dikucilkan teman-teman
sebayanya bahkan orang sekampung. Hal ini mengingat tidak dianggapnya orang tua di dalam kaum kerabat dan masyarakat.
4.Kehilangan Hak Secara Adat
Pasangan yang menikah sesuku akan dikucilkan oleh sukunya, tidak dibenarkan duduk di dalam sukunya dan juga tidak diterima oleh suku-suku lain di wilayah atau luhak (daerah). Bahkan, bekas tempat duduk mereka akan dicuci oleh masyarakat, ini menggambarkan betapa buruknya mereka di mata masyarakat. Lelaki yang melakukan kesalahan hilang hak memegang jawatan ( menjunjung sako) yang terdapat dalam sistem Adat Perpatih. Sedangkan perempuan akan kehilangan hak atas segala harta pusaka suku. Pasangan terlibat “diperbilangkan” sebagai, Laksana buah beluluk, Tercampak ke laut tidak dimakan ikan, Tercampak ke darat tidak dimakan ayam.
5.Membawa Kerugian Materi
Sebagai Pelaku kesalahan adat, pernikahan sesuku perlu melakukan syarat-syarat yang ditetapkan dalam majelis yang diawasi oleh Datuk Lembaga (Ketua Suku) suku berkenaan menerimanya dan bergabung ke dalam ikatan keluarga dan suku. Adapun pasangan ini harus menyediakan 50 gantang beras dan mengadakan seekor kerbau atau lembu untuk majelis kenduri. Menjemput Ketua-Ketua Adat dengan penuh istiadat ke majelis kenduri. Mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada orang ramai, pelaku kesalahan adat meminta maaf kpd’ semua anggota suku yang hadir,
6.Membuat kesenjangan sistem monopoli secara kesukuan,karna dengan adanya kawin sesuku maka akan ada kesenjangan dalam kesukuan.
Sumber : Herlina Hasan Basri
0 Response to "Makna Larangan Menikah dalam satu suku di MinangKabau"
Post a Comment